Penulis : Prof. Dr. H. M. Solihin, M.Ag.
(Wakil Kordinator Kopertais Jawa Barat)
BERITASEJABAR.ID – Wukuf di Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah, merupakan rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan dan tidak bisa diganti dengan dam (denda). Dalam hadits Rasulullah dinyatakan bahwa haji itu adalah wukuf di Arafah ( al-hajju ‘arafah), sehingga orang yang berhaji tetapi tidak wukuf di Arafah, berarti hajinya tidak sah.
Istilah wukuf, berasal dari kata waqafa yang berarti “singgah, berhenti, transit, dan bermenung”. Sedang ‘Arafah berasal dari kata ‘arafa yang berarti mengenali atau menyadari, yakni mengenali jati diri dan kearifan diri. Al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya yang berjudul Lath’if al-Isyarat Tafsir Shufi Kamil Li al-Qur’an al-Karim menjelaskan bahwa ketika sampai di tempat wukuf maka hati dan segenap jiwa pun harus ikut wukuf, karena wukuf di ‘arafah ini merupakan saat-saat penting untuk mengenali Yang al-Haqq (Allah SWT), dan sekaligus mengenali hak-hak Allah atas dirinya.
Wukuf menjadi lambang kebersamaan, miniatur sejati hakikat perjalanan umat manusia. Begitu vitalnya ritual wukuf dalam ibadah haji, menunjukkan betapa wukuf memiliki makna spiritual yang begitu dalam. Wukuf merupakan ibadah unik, dimana tidak disyaratkan harus suci dari hadas besar maupun kecil bagi semua manusia yang melakukannya.
Kehadiran jamaah haji di Padang arafah yang tidak bersyarat harus suci dari hadas, mempunyai makna spiritualitas bahwa semua manusia dari golongan manapun nanti pasti akan berkumpul di padang mahsyar saat hari perhitungan kelak, dimana mereka akan dibangkitkan baik dalam keadaan suci dari dosa maupun berlumuran dosa. Orang yang suci maupun yang berdosa akan dikumpulkan bersama-sama di padang mahsyar menunggu perhitungan dan eksekusi amal mereka masing-masing.
Wukuf adalah refleksi dari “pusaran” hidup manusia. Arafah menjadi tamsil spiritual bahwa nantinya seluruh manusia akan digiring dikumpulkan di Padang Mahsyar sesuai firman Allah SWT surat Al-An’am ayat 51. Semua manusia akan dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya ketika di alam dunia. Perbuatan yang dipertanggungjawabkan adalah perbuatan suci ataupun dosa, perbuatan baik atau jahat.
Wukuf merupakan “warning” bagi manusia bahwa Allah SWT adalah tempat kembali semua makhluk pada hari kiamat nanti. Pada hari itu, seluruh hukum dan aturan yang dibuat manusia sudah tidak berlaku lagi kecuali hukum yang dibuat oleh Allah SWT. Dengan hukum inilah Allah SWT memberi perhitungan seadil-adilnya kepada semua hamba-Nya.
Berdiam diri saat wukuf bukan berarti tidak melakukan apa-apa tanpa makna. Justru saat-saat itulah diisi dengan dzikir, berdoa, bertaubat, dan introspeksi diri. Bagi mereka yang sebelum berhaji masih dilingkupi dengan aktivitas tercela, prosesi wukuf sangat baik untuk direnungi sebagai pengingat kalau Allah SWT pasti melimpahkan rahmat atas perilaku baik manusia dan menurunkan hukuman akibat kelakuan buruk manusia sendiri. Allah SWT tidak memerlukan apa-apa dari para hambanya. Sebaliknya kitalah yang harus menunjukkan rasa syukur atas berkah kehidupan yang mulia ini.
Arafah melambangkan awal penciptaan manusia. Dalam kisah Adam dikatakan bahwa setelah Adam turun ke bumi bertemulah dengan Siti Hawa di Arafah (di Jabal Rahmah), di sanalah mereka saling berkenalan, setelah terpisah kurang lebih 40 tahun. Saat fajar merekah, keduanya melakukan “peleburan” yang pertama di dunia, setelah keduanya terpisahkan akibat drama rayuan setan ketika di surga. Begitupun prosesi peleburan juga akan selalu berulang dan diulang oleh segenap pasangan Bani Adam sepanjang zaman. Lalu makna puncak ‘pengenalan’ arafah dan Ziarah Akbar ini akan terpulang kepada diri kita masing-masing. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu [Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, sungguh-sungguh dia telah mengenal Tuhannya].
Arafah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini manusia singgah sebentar (wuquf). Setiap jamaah diwajibkan wukuf di ‘Arafah sejak terbit hingga terbenam matahari. Secara teologis, wukuf menyiratkan makna “emanasi akidah”. Emanasi akidah yang dimaksud adalah proses pancaran jiwa ketauhidan.
Wuquf menyiratkan sikap penghambaan pribadi-pribadi terhadap khaliknya di tengah kerumunan aneka ragam ummat manusia yang tengah menghadap-Nya. ‘Arafah, merupakan padang luas yang gersang tempat bertemunya Adam dan Hawa, generasi pertama manusia di muka bumi.
Seluruh jamaah haji berbondong-bondong menuju arafah, seolah-olah seperti ada daya tarik magnet yang begitu kuat. Padang arafah menjadi lautan manusia, mereka berbaur menjadi satu dalam suasana hiruk-pikuk. Di sana mereka menjadi sangat kecil bagaikan sebutir pasir di lautan batu ‘arafah yang luas dan gersang. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya gunung-gunung batu yang terjal dan tak terhitung banyaknya. Ditambah lagi, lautan pasir ‘arafah yang terbakar oleh terik matahari menjadikan suhu begitu panas, bagaikan matahari bergeser satu jengkal di atas kepala. Seolah dunia ini telah berganti dengan dunia lain.
Sungguh kehidupan di ‘arafah itu mengilustrasikan kebangkitan manusia dari kematian kelak. Persis menggambarkan kehidupan di Padang Mahsyar nanti, setelah terjadi kiamat.
Berdasarkan pengertian wukuf seperti dijelaskan di atas, yakni singgah sebentar, berhenti dan bermenung, untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Sedang ‘arafah berasal dari kata ‘arafa yang berarti mengenali atau menyadari, yakni pengetahuan tentang jati diri dan kearifan diri.
Dari makna leksikal itu, berarti di arafah kita diajak untuk merenungi dan mengenali jati diri kita masing-masing, melintasi masa lalu, mengevalusi perjalanan hidup, dan menapaki masa depan yang penuh dengan kearifan moral dan spiritual, agar manusia tidak lagi “dijajah” oleh hawa nafsunya, atau “diperdaya” oleh godaan hidup sesaat yang hedonis dan materialis. Berwukuf mendidik kita untuk belajar memahami arti hidup sebagai manusia, nilai persamaan, dan perlakuan yang adil. Wukuf di arafah seolah merupakan “simulasi” pengadilan Allah di dunia, agar manusia sebelum diadili Allah yang Maha Adil, belajar “mengadili” dirinya sendiri secara adil dan terbuka di hadapan Allah yang Maha Melihat dan Mengawasi. Pengadilan diri ini akan membuahkan kejujuran tentang siapa dirinya yang sebenarnya selama ini.
Di Arafah ini mereka menemukan ma’rifah (pengetahuan) tentang jati diri dan akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula mereka harus menyadari langkah hidupnya selama ini, sekaligus menyadari pula kebesaran dan keagungan Tuhan, yang kepada-Nya bersimpuh seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan dalam miniatur padang arafah tersebut. Kesadaran inilah yang mengantarkan seseorang di Padang ‘arafah untuk menjadi ’arif atau orang yang bijak yang menyadari siapa dirinya di hadapan Tuhan.
Arafah merupakan gambaran miniatur padang mahsyar kelak, tempat orang-orang datang menghadap Tuhan dengan penuh ‘ketelanjangan’, tidak memiliki apa atau siapa pun. Semua topeng kepalsuan dan atribut kemanusiaan yang sering dimanfaatkan untuk membodohi orang lain, mempolitiki rakyat, atau menyembunyikan ‘borok’ di dalam dirinya, semua kelak akan tidak berarti. “Arafah merupakan bentuk pelatihan untuk menghadapi Hari Pengadilan“.
Dengan demikian wuquf di ‘arafah secara spiritual adalah singgah sebentar untuk menyadarkan diri betapa manusia di dunia ini telah banyak berbuat dosa, tenggelam dalam belenggu urusan duniawi. Wukuf merupakan metode untuk mengenali siapa sebenarnya dirinya, apakah sebagai hamba dunia atau hamba Allah? Jika telah sampai pada kesadaran ini, maka seseorang telah berada di ambang ma’rifat (pengenalan dan penemuan jati diri) yang merupakan ambang puncak taqarrub (kedekatan) dan ta’aruf (kenal) kepada Allah. Yang hendak dicapai dari taqarrub adalah Allah yang begitu dekat. Sedang dalam ta’aruf yang ingin dicapai adalah al-’Arif, yakni Allah.